Tak Sekedar Melihat


            Daun itu hijau, zebra cross itu putih, dan air itu tak berwarna. Bagaimana kita tahu itu? Jawabnya satu, yaitu dengan melihat. Melihat dengan mata tak perlu bimbingan orang tua, berbeda dengan berjalan maupun berbicara. Dari bangun di pagi hari hingga tidur lagi di malam hari, melihat terkadang membawa dampak yang sangat dalam kepada hidup kita.
           Bagi anak-anak, melihat adalah awal dari apa yang mereka lakukan, children see children do. Tentu kita sendiri merasakan itu. Dulu ketika masa kanak-kanak kita sering meniru apa yang orang lain lakukan, terutama orang tua kita. Kita juga belajar mengenal lingkungan. Itu semua diawali dengan melihat. Kini para pemuda bergerak membangun bangsa juga diawali dengan melihat. Melihat keadaan negeri yang kelewat parah. Parah karena beberapa pejabat tak lagi bisa melihat.
             Di lain hal, melihat tak sama dengan mengamati. Titik perbedaannya ada pada seberapa banyak kita dapat mengambil informasi dari sebuah objek. Contoh sederhananya adalah tangga yang sering kita lewati, entah di tempat kerja maupun kampus. Dengan melihat, kita sekedar tahu bahwa tangga tersebut sudah kusam karena memang sudah lama atau anak tangganya yang terlalu tinggi untuk satu langkah. Namun lain halnya saat kita mengamati. Kita tahu persis berapa jumlah anak tangganya, anak tangga mana yang banyak bagian keropos (bisa diperkirakan bagian itu yang paling sering mendapat tekanan besar dari kaki), atau pegangan sebelah mana yang penuh dengan debu (bagian itu mungkin rapuh sehingga jarang disentuh). Cukup dengan pengamatan sederhana, kita akan dapatkan informasi yang cukup melimpah.
            Dari mata turun ke hati, kalimat ini tentu sudah tak asing lagi. Mengamati juga dapat diartikan sebagai melihat yang dilakukan dengan hati, tak lupa juga disertai rasa senang. Banyak contoh sukses yang kita tahu dari mengamati. Para pengusaha sukses karena pengamatan pasar yang mereka lakukan menghasilkan informasi berharga untuk usaha mereka. Atau contoh lain para polisi. Mereka berhasil memecahkan kasus-kasus sulit karena mengamati TKP dengan seksama untuk mencari bukti-bukti. Namun dalam masyarakat, mengamati terkadang masih dianggap hal yang remeh-temeh. Banyak orang menganggap hal ini kurang kerjaan.
              Tak sekedar melihat, hidup juga tak sekedar melihat. Almarhum Mbah Maridjan besar dengan cara mengamati. Pada kenyataannya, Mbah Maridjan tak mau disebut sebagai juru kunci. Beliau hanya melaksanakan perintah dari Kasultanan Ngayogyakarta. Bukan dengan mistik maupun klenik. Tapi dengan pengamatan. Beliau mengamati tanda-tanda alam di sekitar Gunung Merapi lalu menjadikannya sinyal. Seperti ketika Merapi sudah bergejolak, namun Mbah Maridjan tidak melihat hewan-hewan turun gunung, beliau tidak akan mau untuk turun mengungsi. Beliau berpegang teguh pada alam dengan jalan melihat memakai hati tanda-tanda yang ada.
          Melihat dan mengamati mengambil porsinya masing-masing. Kedua hal ini hendaknya diterapkan untuk waktu yang tepat. Meski begitu, tak ada salahnya seseorang sangat maniak dalam mengamati. Begitu juga kita, tak pantas untuk menyalahkannya. Pribadi masing-masing berbeda. Tapi yang pasti, mengamati adalah salah satu cara untuk mendapatkan informasi yang mungkin berguna di masa depan.

-fbi_1412-

Comments

Popular posts from this blog

Professor Muda dan Pakar Teknologi Nano di AS, Asal Indonesia

Sejarah Layout: Dari Zaman Batu Hingga Zaman Internet

ARTIKEL ILMIAH POPULER