Cerita Istana


Pagi ini di bawah kilauan mentari
Yakin melangkah sekuat hati
Kompeten, profesional, dan kontributif
Itu melekat di diri

             Sebait kalimat itu yang sering terngiang di pikiranku. Entah kenapa, tapi rasanya sesuatu banget kalau kalimat-kalimat itu mengalun bersama nada yang dapat dikatakan tidak sumbang. Mungkin aku gila, atau mungkin aku kerasukan sesuatu. Ini semua tentang LSiS, semua hal yang membuatku mengerti arti dari “sahabat” dan “keluarga”.
            Maniak atau fanatik, entah apapun itu. Dapat juga dikatakan pengorbanan, jika kata itu pantas. Semua dimulai dari sebuah bangunan kecil itu. Sederhana namun bersahaja. Biasa disebut “sekre” atau istana bagi kami yang perlu peneduh. Tiap sudut yang dahulu munculkan kenangan untuk masa kini. Di meja paling selatan itu, tepatnya di bagian raknya. Entah berapa puluh atau berapa ratus makalah karya tulis hasil para laskar istana tersebut. Di rak buku utara, jajaran jendela dunia menatap para penghuni istana. Mereka hanya menatap tak berani berkata. Mereka hanya berharap dalam hati agar suatu saat mereka akan disentuh kembali, disentuh tangan para ilmuwan.
                Tepat di hadapan rak buku, berdiri dengan gagah sebuah rak sederhana. Beberapa saat yang lalu, dia masih bertanggung jawab terhadap persediaan logistik istana. Sungguh sangat menggembirakan ketika penghuni istana saling berebut mengambil persediaan itu. Namun kini keceriaan yang dia rasakan berubah. Semua lenyap ketika brankas berhati dingin datang dan bersanding dengannya. Dia merasa lemah, tak punya daya upaya. Brankas itu tampak lebih kuat dalam menanggung logistik istana, setidaknya hingga saat ini.
                Tak jauh dari mereka, papan putih terdiam membisu. Dahulu dia sangat bahagia. Hampir tiap sore segala macam strategi istana tertulis di sana. Dia tersenyum senang melihat penghuni istana duduk manis di hadapannya dengan penuh suasana diskusi ilmu pengetahuan. Namun itu dulu.
                Sebuah pengganjal kepala yang kini entah di mana keberadaannya. Dahulu dia menjadi perebutan para penghuni istana ketika siang tiba. Ditambah pengusir panas yang cukup tua usianya, mereka adalah pasangan sempurna di siang yang panas. Namun semua berubah ketika sang pengusir panas harus pensiun karena usianya, juga si pengganjal kepala yang lenyap.
             Identitas istana yang dahulu dengan mantap tertancap di dinding selatan gerbang istana. Kilauan hijau di gelap malam itu terbukti sering datangkan pujian dari penghuni istana tetangga. Kini identitas itu telah gugur. Entah akan ada lagi identitas yang baru atau tidak.
              Sekilas itu gambaran istana ketika pertama kali aku mulai menapakkan kaki sebagai penghuni resmi. Sebagai salah satu anggota laskar pemegang panji-panji istana, aku merasa ini keluargaku yang lain. Ada “ibu” di sana, “nenek”, “kakek”, “tante”, juga saudaraku. Awal yang berat ketika kutahu bahwa aku adalah satu-satunya panah di laskar ini. Tapi aku yakin, aku mampu melesat dengan semangat yang mereka tumbuhkan.
                 Suatu sore di taman istana, aku beserta keluargaku berkumpul. Saat itu aku mulai merasa betapa sakitnya sebuah perpisahan. Ya, perpisahan setelah kisah sekian lama. Tak terasa hampir 1 tahun aku hidup di sini. Banyak kenangan yang aku putar balik dalam rekaman otakku yang terbatas ini. Sore itu, banyak cerita yang mengalir. Suka-duka yang kami rasa, canda-tawa yang kami bawa. Aku pikir mungkin inilah langkah awalku untuk meneruskan perjuangan laskar ini.
           Di kehidupan yang baru, mundur 1 tahun dari sekarang. Perjumpaan dengan keluarga baruku membawa kepada sebuah mimpi. Mimpi untuk terbang lebih tinggi dari waktu yang telah lalu. Aku tahu itu berat. Kami, quarter of silence, yang bergerak dalam ketenangan. Kami bergerak di bawah angin, tak nampak gerak maupun laku lincah.
            Tiap sore yang kami habiskan bersama dengan gurauan belaka atau diskusi serius menyusun rencana. Tiap langkah yang membawaku mengerti arti sebuah persahabatan. Sahabat sejati mungkin adalah seseorang yang hadir ketika kau mengalami kesusahan, namun segera menghilang saat kau berkubang di dalam kebahagiaan. Juga arti sebuah keluarga. Keluarga yang hadirkan kehangatan saat gerimis datang, juga kesejukan ketika terik tak dapat terhalang. Untuk kalian yang kini siap melanjutkan perjuangan, tetap bawa arti “sahabat” dan “keluarga” dalam langkah kalian.
             Terima kasih untuk kalian, 6 panah dan 8 srikandi, yang melengkapi perjuangan kita bersama. Perpisahan itu hadir kembali. Biarkanlah aku yang terhapus waktu. Ke mana pun kaki kalian melangkah, ingatlah bahwa dulu kita pernah menjadi keluarga, keluarga yang tersamar. Di sini, aku tersenyum mengingat tiap perjumpaan kita. Di sini, aku tetap menanti siaran ulang kenangan kita. Di sini, aku tetap melihat kalian sebagai cerita istanaku yang sangat berharga.

                      Live with love, still simple and humble, my love, Junsai………..


-fbi_1412-

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Professor Muda dan Pakar Teknologi Nano di AS, Asal Indonesia

Sejarah Layout: Dari Zaman Batu Hingga Zaman Internet

ARTIKEL ILMIAH POPULER