Posts

Warna Empat Negeri Pemberontak

Lagi, tetapi sekarang dengan lantunan yang agak berbeda serta dengan termin yang lebih banter dari sebelumnya. Suara iqomat -lah yang membangunkan Abrar kali ini. Gubuk Abrar memang tidak jauh dari langgar –tempat di mana warga kampung biasa menyembah Sang Pemilik Jagad Raya-. Setelah iqomat selesai, tidak ada suatu gerakan pun yang dilakukan oleh Abrar –terkecuali gerakan perutnya yang mengembung lalu mengempis, begitu pun seterusnya-. Seorang berwajah keriput pun membangunkan Abrar, memecahkan segala lamunan mengenai peristiwa yang barusan terjadi.                 Serasa meninggalkan sesuatu yang Abrar semayami selama ini, jiwanya lucut entah kemana. Berat otak Abrar dengan pertanda ini. Dua rakaat Abrar tertinggal, hasil dari semua itu, seseorang menepuk pundak kanannya sehingga Abrar harus melantangkan suaranya lebih keras lagi. Ditengokkanlah kepalanya ke arah kiri sambil mengucap pelafalan dalam bahasa Arab, pertanda apa yang menjadi kewajibannya telah dilaksanakan. Sembari me

Keraguan

Akankah diri ini tetap bertahan disana? Dalam kesepian, kegelapan, dan dingin yang membekukan hati Hanya menunggu waktu yang tepat, untuknya menarikku dalam penjara kepedihan Akankah diri ini mampu berdiri disana? Dalam badai dan hujan yang dapat menggoyahkan hati Hanya memilih, untuk tetap kokoh atau tumbang karenanya Akankah diri ini selalu percaya? Kepadanya yang mencelakai untuk bisa menyelamatkan Karena jawaban hanya kamu yang bisa menentukan Oleh: Ristya Vibiyana (Jurnalistik Sains 2016)

Perisai Getar Penumbuh Sangkakala

Pirsa… Renungan garis bergetah dosa Seraya bergumam di ujung paksa Berteduh guna bersujud Esa Langguk umat tersua berkat Kiblat bertamu berujung tekat Hingga tamat, Ingat… Denyut semesta tanpa akurat Tiada absah   di dalam darah Tiada getah di dalam pasrah Melajulah… Bukankah engkau paham arti belukar? Mereka dingin tersayat lara Yang tentu sanggup menghapus rekah Oleh:  Rayhan Rizqi Bebryan (Jurnalistik Sains 2017)

Tape Recorder

Tujuh sekawan kecil baru saja menuntaskan pelajaran di hari kamis, sudah lewat pukul 14.00 WIB ketika mereka meluncurkan sepeda andalan masing-masing melewati jalan aspal yang berlubang. Sang surya masih dengan perlente menorehkan sinarnya, alhasil beberapa buliran air keluar dari pori-pori kulit. Angin persawahan musim tanam padi menyibak halus jilbab cokelat tua yang mereka kenakan, setidaknya ini sedikit menghilangkan lelah. Pada persimpangan jalan setelah memasuki desa mereka saling melambaikan tangan, mengucapkan salam perpisahan dan menghilang diujung jalan. Kira-kira setengah jam setelahnya, bidadari-bidadari kecil itu kembali berkumpul di persimpangan yang sama. Masih dengan pakaian yang sama dan beberapa masih mengenakan sepatu, hanya saja mungkin kali ini perut mereka sudah terisi. Satu diantaranya memimpin perjalanan menuju masjid sederhana yang berdiri dipertengahan kampung, bukan pada masjidnya tapi pada sebuah bangunan rumah yang berada disamping masjid. “Kakak!

Sajak Rindu

Semalam hujan deras Aku duduk di dalam kamarku Gelas berdenting Purnama larut di dalamnya Tsunami terjadi di kepalaku Aku hanyut Lalu rindu mengetuk pintu kamarku "di sini dingin" katanya Tidak mau Tidak akan kubiarkan kau  mencabik-cabik hatiku lagi Dan aku tidur Dengan tenang Pukul empat pagi Seseorang berdiri di sampingku Ia adalah rindu Aku terkesiap Dari mana ia masuk? Oleh: Fatimah Ar-Rahma (Jurnalistik Sains 2017)

Puisi lomba LSiS medialis

Api Abadi (Oleh : Pawit Romadhon Riset Penelitian LSiS 2015) Gejolak Api Dibalik surya dan sinarnya di pagi hari Dibawah bulan yang mengiringinya Diatas bumi serta penghamparannya Berpacu dalam ranjau tekanan hujan peluru Kuda perang berlari kencang terengah-engah Memercikkan bunga api dari kuku-kuku kakinya Menerbangkan debu Menyerbu ke tengah-tengah kumpulan musuh Merdeka atau mati

Puisi Lomba LSiS Medialis

Secuil Memori Untuknya Yang Jauh (Feni Risma Mei Diana) Teruntuk bagimu Yang dulu senyumnya selalu menyapa di pagi hari Menjadi praduga tarik ulurnya hati Teruntuk bagimu Yang jiwanya pernah kudamba Apa kabar kau disana Seorang yang membeku pada hidupnya sendiri Yang pernah mencairkan kesunyian di ufuk timur dulu Bukankah senyummu telah mengantarkan sebuah pengharapan yang sendu Harapan yang telah menghiruk-pikukkan hati Wahai gerangan disana Aku tak pernah memiliki kuasa untuk turut campur dalam hidupmu yang penuh teka teki Menghias diri dengan usikan perasaan bersalah Yang aku pun tak tahu apakah itu skenario semu Ataukah sebuah isyarat nyata Barangkali memori sudah tak lagi pekat Mungkin sekarang kau berpikir dalam dimensi yang berbeda Perihal kisah yang pernah kau luangkan bersama Selayaknya dua jiwa dengan sabda penuh rona Yang saling berbagi dan punya cara sendiri Aku dan kau pun mungkin paham akan betapa sakitnya pengabaian