Kacamata Kaca

"Sebuah persepsi tentang kehidupan dari kacamata seorang tunanetra"

Di sebuah rumah yang terletak di pinggiran kota Jakarta. Rumah itu sepertinya tidak pantas untuk dikategorikan sebagai sebuah rumah. Dengan ukuran tiga kali tiga meter, rumah itu hanya mempunyai sebuah ruangan saja. Dengan hanya satu lampu pijar sebagai penerangnya dikala malam. Di rumah itu, seorang wanita separuh baya hidup bersama ayahnya yang sudah tua renta. Wanita itu memiliki rambut hitam panjang yang sedikit bergelombang. Wajahnya lumayan cantik jika sedikit dirias. Kemiskinan membuatnya harus hidup dalam serba kekurangan, sehingga tubuhnya yang tinggi semampai terlihat kurus. Bajunya terlihat kumal, sepertinya sudah berminggu-minggu tidak pernah dicuci. Namun, wanita itu sepertinya tidak begitu peduli dengan hal itu. Semuanya ia terima dengan sepenuh hati, tanpa penyesalan sedikit pun. 

"Kaca, sini nak.", Pak Tua memanggil wanita itu. Ternyata nama wanita itu adalah Kaca.

"Iya, Pak. Ada apa, Pak?", jawab wanita itu.

"Besok 'kan kamu ulang tahun ke-20, kamu mau hadiah apa, Nak?"

"Wah, Pak. Saya tidak butuh apa-apa. Tapi...",ucapan wanita itu terhenti.

Si Bapak memperhatikan....

"Pak, Saya...butuh kacamata.", ujar wanita itu tanpa menoleh sedikitpun.

"Kacamata??", Pak Tua kaget mendengarkan permintaan putri semata wayangnya itu.

"Iya, Pak.", jawab Kaca tegas. Kali ini ia menoleh pada ayahnya dengan senyum tersungging di bibirnya.

Pak Tua bingung dengan permintaan putrinya itu. Bukan karena ia tak mampu membelikannya. Hanya saja, ia beranggapan kondisi putrinya yang tunanetra sepertinya tidak membutuhkan kacamata.

"Kenapa kacamata, Nak?", tanya Pak Tua heran.

"Bapak pasti bingung, saya memang tunanetra Pak. Tapi, yang buta hanya mata saya. Saya cuma heran dengan manusia sekarang. Orang buta saja tidak buta akan kehidupan. Saya tahu hidup terkadang kejam, tapi sekejam-kejamnya hidup lebih kejam manusia itu sendiri. Ada sebuah keluarga yang makan makanan enak di sebuah restoran mahal, di luar restoran itu ada sebuah keluarga lain yang hidupnya kurang beruntung. Mereka hanya makan makanan sisa dari restoran itu. Keluarga yang beruntung itu jelas-jelas melihat keluarga yang tidak beruntung itu, namun mereka hanya memikirkan diri mereka sendiri. Mereka buta akan lingkungan disekitarnya. Atau jangan-jangan mereka hanya pura-pura buta saja. Mereka mencari kesenangan untuk dirinya sendiri, namun mereka tidak ingat bahwa manusia adalah makhluk sosial. Kita tidak bisa hidup sendirian", kemudian ia terdiam sejenak.

Pak Tua hanya memandang heran. 

"Kalau nanti Bapak membelikan kacamata untuk saya, saya hanya ingin berpura-pura bisa melihat agar saya bisa membantu mereka yang kurang beruntung seolah-olah saya adalah keluarga yang beruntung itu.",lanjutnya.

Pak Tua hanya bisa terdiam mendengarkan penjelasan putrinya itu. Sesaat kemudian ia tersenyum. Dalam hatinya ia berkata, "Oh, Tuhan...terima kasih Engkau telah memberiku seorang putri dengan matanya yang tidak buta akan kehidupan ini."

Kemudian si Bapak mengiyakan permintaan putrinya itu, dan menyuruhnya untuk segera tidur. Lampu pijar pun di padamkan. Malam itu terasa hening, seolah tiada hewan malam pun yang berani mengusik sepi di rumah itu.




-Estira Woro Astrini-

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Professor Muda dan Pakar Teknologi Nano di AS, Asal Indonesia

Sejarah Layout: Dari Zaman Batu Hingga Zaman Internet

ARTIKEL ILMIAH POPULER