Titanic Tak Pernah Karam


                Mentari menyapaku dengan senyumnya. Tak terlalu terik sapanya saat itu. Aku siap, siap untuk hari pertamaku di kapal ini. Beberapa minggu sebelumnya kapal ini berlabuh di pelabuhan. Sang kapten yang bijaksana memintaku untuk menjadi salah satu kru kapal. Tak kutolak, aku acuhkan ajakan itu. Ya, tak perlu alasan mengapa aku menerimanya. Cukup bergabung dengan kapal besar ini membuatku bangga. Titanic, begitu aku menyebutnya. Mungkin tak sebesar Titanic yang asli, namun aku tetap senang menyebut kapal ini Titanic.
           Titanic berlabuh setelah menempuh perjalanan panjang. Mengarungi samudera penuh badai dan hempasan ombak, serta gertakan malam berkabut. Sang kapten dan kru tak gentar menghadapi semua itu. Aku telah menjadi salah satu kru Titanic. Aku siap menghadapi badai dan hempasan ombak.
                Perlahan Titanic meninggalkan dermaga. Kukuatkan tekat untuk tetap yakin di tiap pilhanku ini. Aku tahu ini masih permulaan, namun aku mulai melihat betapa besar ombak yang siap menghantam perjalanan Titanic. Sang kapten yang bijaksana selalu meyakinkan kami para kru untuk tetap tenang menghadapinya.
             Muatan Titanic sungguh banyak. Semua itu harus kami antarkan ke pelabuhan berikutnya. Ya, itu tujuan perjalanan kami. Tanggung jawab para kru sangat berat, terutama sang kapten. Dialah pemegang kendali utama Titanic. Dialah navigasi yang harus kami ikuti. Apa yang kami bawa sangat rentan terhadap terpaan alam. Mereka harus selalu kami jaga demi kebaikan bersama.
              Seperempat perjalanan pertama ombak sudah menghempas badan Titanic. Goncangan mulai terasa kencang saat itu. Aku mulai panik, beberapa kru juga panik. Namun sekali lagi, sang kapten yang bijaksana meyakinkan kami untuk tetap kuat menghadapi ini. Kami saling menguatkan, kami saling berpegangan.
                Tepat di tengah perjalanan, nampaklah sebuah gunung es besar. Keyakinan kami mulai runtuh, berbanding terbalik dengan kokohnya gunung di depan mata kami. Sebagian besar kru mulai jenuh dengan perjalanan ini, terutama jenuh dengan hempasan yang menerpa kami. Sebelum tiba di gunung es ini, mereka coba untuk pergi ke pulau terdekat dengan sampan yang ada di Titanic. Mereka mencari sesuatu yang berbeda di pulau tersebut.
                Kapal besar ini semakin dekat dengan gunung es. Sang kapten memerintahkan untuk memutar haluan untuk menghindarinya. Hati was-was, tak tenang, aku maupun yang lain. Detik demi detik hingga menit berubah menjadi jam, kami menahan segala daya, kami menanti satu upaya. Gunung ini memang besar, sebesar kapal ini ditambah Titanic yang lain. Penantian tak selalu berujung duka.
                Senyum terkembang setelah gunung es mulai menjauh dari mata. Namun tak dapat dipungkiri, karena goncangan yang cukup besar saat menghindari gunung es, beberapa kru harus kami relakan untuk menghilang. Sekali lagi, sang kapten tersenyum menenangkan kami. Ya, kami yakin, kapten.
                 Hari demi hari hingga bulan tak enggan berubah, segala macam cobaan kami lalui. Terpaan badai, hempasan ombak, goncangan karang, hingga meriam bajak laut kami hadapi. Meski Titanic terlihat sedikit tergores, namun kami dapat memperbaikinya. Atas instruksi sang kapten tentunya.
                Kini Titanic telah berlabuh di pelabuhan ini. Waktuku berlayar telah habis. Sang kapten telah mencari kru baru yang pastinya tak kalah hebat dengan kami. Di sini kami bukannya berhenti. Di sini kami menunggu, menunggu saatnya tiba untuk membantu kru yang baru. Di sini kami siap membimbing meski tak akan selalu. Tak lama lagi Titanic akan melanjutkan perjalanannya. Muatan lama diturunkan, diganti dengan muatan yang baru. Tujuan Titanic hanya satu, mengantarkan muatan ke pelabuhan berikutnya dengan baik. Lambaian tangan mengiringi kepergian kalian saat waktunya tiba. Kami yakin, Titanic tak pernah karam.


Comments

Popular posts from this blog

Professor Muda dan Pakar Teknologi Nano di AS, Asal Indonesia

Sejarah Layout: Dari Zaman Batu Hingga Zaman Internet

ARTIKEL ILMIAH POPULER