Nyaman Itu Kalau Sudah Biasa

                           “Aku nggak nyaman kalau di sana”, “Kayaknya gue nggak cocok dech sama tempat kita ini”, “Aku pilih di sini aja ah, orangnya asyik-asyik”. Pernah dengar kalimat seperti itu, atau minimal intinya sama, keluar dari mulut teman kita maupun orang yang kita kenal? Ya, pasti sebagian dari kita akan bilang “pernah”. Terus apa maksudnya? Apa hubungannya kalimat-kalimat itu dengan judul artikel ini? Ini sangat tidak penting, jika kamu adalah tukang menyerah.
                          Nyaman adalah sebuah kata sifat atau keterangan yang berarti perasaan tenang atau cocok dengan suatu keadaan atau lingkungan. Perasaan ini memang tidak bisa dipaksakan. Tidak seperti anak kecil yang bisa dipaksa untuk makan sayuran. Juga tidak seperti kentut yang bisa ditahan untuk tak keluar ketika sedang presentasi di depan publik. Apapun analoginya, nyaman bukan sesuatu yang abadi, bukan sesuatu yang dapat diciptakan, bukan juga sesuatu yang dapat dimusnahkan.
                        Tiap orang yang masih bisa menyedot ingusnya dengan nyaman, tiap orang yang tetap bisa mencium bau badannya sendiri secara nyaman, atau tiap orang yang tak pernah bisa menahan laparnya dengan perasaan nyaman pasti punya yang namanya TUGAS, PEKERJAAN, AMANAH, atau apapun namanya. Entah didapat dari dosen, orang tua, organisasi, atau dari hati sekalipun. Mungkin untuk ini lebih enak disebut amanah karena artinya bisa lebih luas, enak bahasnya.
                   Nyaman dengan suatu amanah pasti sering dirasakan, tapi pernahkah merasa tak nyaman dengan sebuah amanah? Pasti jawabnya “lebih sering”. Tak bisa dipungkiri, aku sendiri merasakan, kenyamanan itu sangat besar dipengaruhi oleh lingkungan. Hal itu dirasakan tentu karena kita hanya merasakan amanah itu di awalnya. Kita hanya menjilatnya lalu pergi. Tak pernah merasakan seutuhnya rasa dari amanah itu.
         Keadaan yang nyaman sulit untuk tercapai, setidaknya di alam ini. Seperti elektron yang terkena radiasi UV pasti dia akan tereksitasi ke tingkat energi yang lebih tinggi. Di tingkat energi yang baru inilah elektron itu akan merasa goyah, merasa tak nyaman, ingin sekali mencari kenyamanan di tempatnya semula. Akhirnya dia mengeluarkan energi yang ada di dirinya dan kembali ke tempatnya. So, kenapa elektron ikut berbicara tentang amanah?
                    Jangan biarkan diri kita seperti elektron yang tak tahan jika mendapat energi yang tinggi. Simpan energi itu untuk melakukan sesuatu. Amanah akan terasa nyaman kalau kita biasa. Mungkin tak enak di awalnya, tapi paksakan. Kita bisa karena biasa. Seperti batu yang terus ditetesi air tentu akan berlubang juga. Coba dan jangan pernah berkata “Aku nggak nyaman kalau di sana”, “Kayaknya gue nggak cocok dech sama tempat kita ini”, atau “Aku pilih di sini aja ah, orangnya asyik-asyik” lagi. Mungkin saat kalian meninggalkan sebuah amanah di suatu tempat, orang yang melakukan amanah itu akan merasa berat karena tak ada yang membantu. Mungkin kalian tak pernah memikirkannya karena sudah merasa nyaman dengan tempat yang baru. Tapi cobalah sejenak menengok orang yang kalian tinggal bersama amanah yang tak pernah kalian selesaikan. Cobalah sejenak merasakan angin, debu, serta hempasan kerikil bersama mereka, jika kalian masih ingat.



Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Professor Muda dan Pakar Teknologi Nano di AS, Asal Indonesia

Sejarah Layout: Dari Zaman Batu Hingga Zaman Internet

ARTIKEL ILMIAH POPULER