The Alpha Girl's Guide: Book Review
Judul : The Alpha Girl's Guide
Penulis : Henry Manampiring
Jumlah halaman: 254 halaman
Tahun terbit : 2015
Penerbit : Gagasmedia
“Buat apa sih cewek sekolah tinggi-tinggi? Ujung-ujungnya toh di dapur
juga”
Apa yang ada di benak anda jika
mendapatkan pertanyaan seperti itu?
Mungkin, ada yang berpikiran
bahwa pertanyaan itu merupakan pertanyaan sensitif yang menghina emansipasi. Pertanyaan ini juga jauh lebih sesuai jika ditanyakan di era tahun 1800an, yaitu zaman di mana emansipasi belum dikenal maupun digaungkan. Namun, percayalah, itu adalah pertanyaan dari seseorang yang hidup di era
teknologi. Ironis, bukan?
Hidup di jaman serba canggih
ternyata sama sekali tidak menjamin bahwa pemikiran seseorang juga akan sama
‘canggih’nya. Nyatanya, masih banyak orang yang masih terbelenggu oleh suatu pemikiran
dimana perempuan tidak dapat mengembangkan dirinya sendiri karena berbagai
faktor. Artinya, perjuangan Kartini sama sekali masih jauh dari kata usai. Miris,
tapi itulah fakta yang terjadi di masyarakat kita saat ini.
Karena itulah, The Alpha Girl’s Guide ditulis. The Alpha Girl’s Guide merupakan buku ketiga
dari Henry Manampiring. Tidak jauh berbeda dari kedua buku sebelumnya yaitu Cinta (Tidak Harus) Mati dan 7 Kebiasaan Orang yang Nyebelin Banget,
buku ini mengangkat isu sosial dan etika yang kerap ditemui di masyarakat.
Hanya saja, The Alpha Girl’s Guide lebih merupakan reaksi terhadap isu-isu yang
dihadapi remaja dan perempuan muda di masa kini dalam hal pergaulan,
pendidikan, karir, relationship, sekaligus
reaksi terhadap pertanyaan “Buat apa sih cewek sekolah tinggi-tinggi?
Ujung-ujungnya toh di dapur juga”
Menggunakan pemahaman tentang alpha female (perempuan yang mampu
memimpin, menginspirasi, dan membawa perubahan), pembaca diajak untuk peka terhadap isu-isu mengenai self
improvement pada remaja perempuan. Pemaparan terhadap suatu isu self improvement remaja perempuan juga
dijelaskan dengan ringan, penuh humor, dan gamblang sehingga mudah dipahami
tanpa mengurangi keseriusan topik yang diangkat dalam buku ini. Sekalipun buku
ini termasuk dalam kategori non-fiksi, namun alur penulisan buku ini seakan-akan
mengalir begitu saja seperti karya-karya fiksi, sehingga membuat pembaca makin
tertarik untuk membalik halaman demi halamannya. Buku ini juga memiliki
tampilan yang menarik. Tidak seperti buku non fiksi lainnya, buku ini
menggunakan ilustrasi-ilustrasi ringan nan kocak sehingga mampu menghibur
sekaligus memudahkan pembaca untuk membayangkan pemaparan dari penulis.
The Alpha Girl’s Guide tidak ditulis hanya dengan menggunakan
perspektif pribadi penulis, namun juga melibatkan data statistik dan wawancara
dari beberapa tokoh seperti Najwa Shihab dan Alanda Kariza. Dengan demikian, pembaca
dapat memperkaya wawasan dan pemikirannya mengenai self improvement perempuan dari berbagai sudut pandang. Selain itu, ada juga segmen Alpha Exercise, yaitu semacam studi kasus di mana pembaca diajak untuk membayangkan suatu situasi dan diajak untuk memikirkan tindakan maupun solusinya. Di sini pembaca tidak hanya disuguhi pemaparan, gagasan, data statistik, maupun liputan wawancara, namun pembaca diajak untuk sungguh-sungguh berpikir kritis dan solutif dalam menghadapi isu mengenai self improvement yang acap kali terluput dari pengamatan.
Kesimpulannya, The Alpha Girl’s Guide merupakan buku
yang sangat layak untuk dibaca. Ada banyak hal yang dapat dipelajari dari buku
ini, terutama mengenai kualitas seorang alpha
female. Menjadi seorang perempuan berarti menjadi tonggak suatu bangsa,
maka dari itu setiap perempuan harus meningkatkan kualitas dirinya jika ingin
meningkatkan kualitas masyarakatnya.
Comments
Post a Comment