Tape Recorder
Tujuh sekawan kecil baru saja
menuntaskan pelajaran di hari kamis, sudah lewat pukul 14.00 WIB ketika
mereka meluncurkan sepeda andalan masing-masing melewati jalan aspal yang
berlubang. Sang surya masih dengan perlente menorehkan sinarnya, alhasil
beberapa buliran air keluar dari pori-pori kulit. Angin persawahan musim tanam
padi menyibak halus jilbab cokelat tua yang mereka kenakan, setidaknya ini
sedikit menghilangkan lelah. Pada persimpangan jalan setelah memasuki desa
mereka saling melambaikan tangan, mengucapkan salam perpisahan dan menghilang
diujung jalan.
Kira-kira
setengah jam setelahnya, bidadari-bidadari kecil itu kembali berkumpul di
persimpangan yang sama. Masih dengan pakaian yang sama dan beberapa masih
mengenakan sepatu, hanya saja mungkin kali ini perut mereka sudah terisi. Satu
diantaranya memimpin perjalanan menuju masjid sederhana yang berdiri
dipertengahan kampung, bukan pada masjidnya tapi pada sebuah bangunan rumah
yang berada disamping masjid.
“Kakak!
Kakak! Assalamualaikum!” Ucap mereka bersamaan dari atas sepeda yang belum
sempat disandarkan.
“Waalaikumsalam.”
Seorang laki-laki berperawakan gemuk yang mungkin umurnya belum genap 25 tahun
keluar dari hunian rumah tersebut.
“Eh ada
7 gadis kecil yang mau ngapel.” Selorohnya pada anak-anak itu, mereka terlihat
sedikit bingung.
“Mau
cari siapa?” Lanjutnya.
“Mau
cari kakak yang jago gambar,” jawab Nike.
“Kak
Risnu?” Tebaknya.
“Nggak tahu
namanya Kak, pokoknya yang pakai kacamata dan matanya sipit.” Jelasnya sedikit
mengingat-ingat sosok yang ia maksud.
“Owalah Kak
Fadil. Dil! Fadil! Ini kau dicari anak-anak.” Teriaknya dengan logat padang.
Tak
lama keluarlah sosok yang dicari-cari, pemuda keturunan china berkulit putih
yang memakai kaos oblong berwarna kelabu muncul dari salah satu sudut ruangan.
Raut wajahnya terlihat sedikit lusuh, mungkin karena semalaman ia begadang
mengerjakan tugas-tugasnya. Menyadari semua orang memerhatikannya, ia gelagapan
dan langsung merapikan rambut yang sedikit berantakan.
“Ya? Gimana?”
Tanyanya masih sedikit tidak mengerti.
“Kak
kita mau di dongengi lagi kayak kemarin.” Jelas Nadhifa dengan wajah yang begitu
sumringah.
Fadil
tidak langsung menjawab, ia kembali masuk ke dalam rumah hunian sementara yang
ia tinggali. Beberapa saat kemudia ia keluar dengan jaket yang digulung sampai
siku, wajahnya juga nampak lebih cerah dan bugar. Mungkin ia telah membasuhnya,
entah dengan sabun atau sekedar dengan air wudhu.
“Oke kurcaci-kurcaci
cilik, akan kemana kita?” Candanya sembari mengenakan sepatu sport berwarna
putih dengan beberapa garis biru.
Mereka
berjalan beriringan menuju teras masjid yang sedikit lebih sejuk, musim kemarau
yang terjadi sebulan terakhir ini memang membawa hawa panas yang mengucurkan
keringat. Halaman masjid ditumbuhi rumput teki, tidak luas tapi cukup menolong
ketika kemarau seperti ini setidaknya masjid tidak terlalu kotor akibat debu
yang berterbangan.
“Mau
didongengi tentang apa?” Tanya Fadil sambil duduk berselonjor bersender pada
sebuah tiang masjid.
“Terserah
Kakak saja!” Ucap Nahla. Ketujuh bidadari kecil itu duduk bersila mengelilingi
sang empunya dalang, mereka memposisikan diri senyaman mungkin sebelum kisah
itu dimulai.
Sejenak
Fadil melihat angkasa, langit begitu cerah dengan warna biru dan sapuan tipis
awan putih. Lima sampai sepuluh burung gereja berkicau membelah kesunyian
saling berkejaran dan melepas canda. Sehelai daun jati jatuh dari tangkaianya
dengan perlahan.
“Akan
kakak kisahkan tentang sahabat Rasulullah yang mungkin secara perawakan ia
tidak begitu tampan, tapi insyaAllah surga telah menantinya.” Fadil menatap
satu persatu wajah gadis-gadis kecil tersebut. Mulailah pemuda asli Muntilan
Jawa Tengah tersebut berkisah dengan caranya yang unik, tidak memakai sarana
yang berarti dan tidak pula dengan suara yang dibuat-buat. Bahasanya bisa
dikatakan biasa namun anak-anak itu berhasil ia hipnotis untuk masuk dalam
dunianya.
Tak
kurang dari satu jam dongeng singkat para pembela Allah itu berakhir, ada binar
kebahagiaan yang tertinggal. Sayup-sayup terdengar kumandang adzan ashar dari
desa tetangga, mengajak tuk bertemu Sang Maha pemilik kisah
hidup ini. Fadil menutup forum kecil itu dengan salam yang begitu indah, segera
ia bergegas mencari sumber air untuk bersuci. Lantunan indah kalimat Allah
menyusul berkumandang di kampung tempatnya bertugas kemudian beberapa teman KKN
nya datang ingin ikut andil dalam shaf.
“Anak-anak
tadi kamu kasih apa?” Tanya Hasan seusai shalat.
“Cerita
singkat tentang bahaya tidur terlalu nyenyak,” Canda Fadil sambil terkekeh.
“Lha emang Lu
nggak kayak gitu?” sindirnya balik dengan nada sedatar
mungkin.
Keduanya
tertawa lepas di pelataran masjid, terlupa dengan kondisi jamaah yang mungkin
belum merampungkan shalatnya.
“Kak
Fadil! Kak Fadil!” Seorang gadis kecil memanggil lirih, mencegat perjalanan
pulang Fadil dan Hasan.
“Eh Nahla,
kenapa?” Fadil menghentikan langkahnya begitupun dengan Hasan.
“Kak
Fadil, ajarin Nahla adzan dong!” Pintanya, kedua tangan mungilnya
terlihat membawa sebuah buku dan pulpen.
“Buat
apa?” Tanya Fadil heran.
“Nahla
pengen mengajarkan adzan sama kakak-kakak Nahla yang di rumah,” Jawabnya,
sebuah senyuman merekah di wajah mungilnya. Ia merupakan anak bungsu dari lima
bersaudara, semua kakaknya laki-laki.
“Kalau
begitu ayo ikut kakak ke rumah!” Ajak Fadil.
Sambil
menunggu Fadil mengambil sesuatu di dalam rumah, Nahla mencoret-coret tanah
berpasir di hadapannya dengan sebatang ranting kering. Ia menggambar
gunung, sawah, rumah dan seorang petani. Khayalan seorang anak kecil terhadap
kehidupan begitu sederhana, ia akan menuangkan apa-apa yang mudah namun tak
jarang khayalannya tak bisa diterima oleh akal manusia.
“Nahla!
Ini catatan lafal adzannya udah kakak tulis dalam tulisan latin jadi nanti
Nahla bisa membacanya, dan ini tape
recorder bisa Nahla bawa dulu untuk mencocokkan lantunannya.” Fadil
menyerahkan selembar kertas dan sebuah kotak besi berwarna silver. Nampaknya
tape recorder tersebut sudah dimakan zaman, terlihat sedikit usang.
“Terimakasih
Kak!” Ucap Nahla menerima kedua barang tersebut, ada binar bahagia terpancar
dari kedua matanya.
Nahla
pulang. Semua kembali seperti biasa, Fadil sibuk dengan desain-desain pesanan.
Hasan memilih bersantai sambil mengoreksi tugas anak-anak didiknya dan yang
perempuan menyiapkan amunisi untuk giat besok pagi.
“Saaaaaaaaaaaaan! Udah jam 2, kau shalat Isya dulu
sana!” Teriak Fadil dari ruang tengah. Tak ada yang menjawab, semua sudah
terlelap. Tinggal ia seorang diri yang masih terjaga, desain-desain itu memang
memaksanya tetap setia pada malam. Kantung matanya semakin membesar, pada
akhirnya ia terlelap juga di atas laptop yang masih menyala bahkan kacamata
berframe hitam yang ia kenakan belum sempat ia lepaskan.
“Allahu
Akbar..Allahu Akbar..” Subuh.
“Makanya
Dil kalau begadang jangan kelewat pagi! Jadi gini kan suaramu, adzan saja kayak
suara perempuan. Pasti ni radang mu kumat lagi,” gerutu Hasan keluar dari kamar
sedikit sempoyongan, belum genap betul nyawa yang ia kumpulkan seusai tidur.
“Lha?”
Hasan melongo melihat Fadil terlelap di ruang tengah.
“Dil!
Fadil! Bangun! Itu yang adzan siapa? Jangan-jangan ibu kunti, kamu tahu sendiri
kan warga disini nggak ada yang bisa adzan dan diantara kita
yang paling rajin adzan cuma dirimu.” Hasan mengguncangkan
tubuh Fadil.
“Hayya
‘alas-shalaah…” Sedikit samar Fadil mendengarnya, kesadarannya belum
kembali seutuhnya.
“Ayo kita ke masjid!” Tanpa
berfikir panjang, Fadil membuka pintu dan berlari keluar menuju sumber suara.
Kedua pemuda tersebut semakin terkejut melihat kerumunan warga yang sudah
berjubel di depan masjid. Fadil melambatkan langkahnya dan mulai mengamati.
“Itu
siapa yang adzan! Keluar! Apa dunia ini mau kiamat? Perempuan tidak boleh
adzan!” Teriak salah seorang ibu paruh baya, salah satu tangan ia kepalkan ke
atas dan tangan yang lain memegang sapu.
“Iya
keluar kamu!” warga yang lain terprovokasi.
Seorang
gadis kecil keluar dari dalam masjid, ia sedikit menundukkan wajahnya. Ia hanya
tertunduk namun tidak ada rona takut dalam wajah lugunya. Sesaat kemudian ia
mengangkat kepalanya dan melihat satu per satu wajah amarah yang sedang
menghadangnya di pintu keluar.
“Nahla!”
Ketua RW yang memimpin aksi tersebut sontak kaget.
“Nah
lho, kamu ajarkan apa sama dia kemarin sampai dia berbuat ulah kayak gini.”
Bisik Hasan menghakimi temannya.
“Ssssssstttt! Kita
lihat aja dulu!” Fadil memerhatikan setiap gerak yang dilakukan anak didiknya
tersebut.
“Aku
pengen kayak Bilal bin Rabbah yang suara adzannya selalu dirindukan oleh
sahabat-sahabat Rasul, aku ingin menjadi sepertinya yang suara sandalnya saja
sudah terdengar di surga.” Ucap Nahla polos, mengingat kembali sepenggal kisah
seorang sahabat Rasul berkulit legam tersebut.
“Tapi
kamu ini perempuan, tidak ada perempuan yang adzan.” Protes seorang bapak muda.
“Berarti
semua orang dikampung kita perempuan? Itu kah sebabnya tidak pernah terdengar
adzan di kampung ini kecuali ada kakak-kakak KKN?” Tanya Nahla, usianya masih
belia namun pemikirannya cukup maju.
“Sudah!
Sudah! Biar nanti Saya yang bicara dengan orang tua bocah ini, sekarang kita
bubar!” Teriak Pak RW sambil membubarkan warga yang masih terlihat kesal.
Satu
persatu warga pergi, diantara mereka masih saja ada yang ngedumel tak
terima dengan sikap Nahla. Ada juga yang membenarkan perkataan bocah kecil
tersebut, walau bagaimanapun warga akan menganggap ini hanya kenakalan seorang
anak kecil. Semua orang kembali ke kediaman masing-masing, tinggallah Fadil dan
Hasan yang masih berdiri di sana.
“Nahla…!”
Panggil Fadil lembut.
“Kak
Fadil!” Bocah kelas 2 SD tersebut datang dan langsung menghambur ke pelukan
Fadil, ia menangis sejadinya. Rasa takut yang sejak tadi ia sembunyikan kini
keluar sudah.
“Nahla
berbohong ya sama kakak? Katanya mau ngajarin kakak-kakak Nahla untuk adzan?
Kenapa jadi Nahla yang berada di sini?” Tanya Fadil sedikit memborong, sehalus
mungkin ia mengeluarkan nada.
“Kemarin
Nahla sudah mencoba tapi kakak-kakak Nahla malah meremehkan dan tidak ada yang
mau belajar adzan. Nahla pikir kalau suara Nahla bisa bagus ketika adzan di
masjid, nanti kakak-kakak Nahla bahkan warga kampung bakal tertarik buat
belajar adzan. Tapi Nahla malah di marahi kayak tadi.”
Jawabnya polos sedikit sesenggukan.
“Nahla
hebat!” Puji Fadil sambil mengusap air mata yang tumpah.
“Sekarang
kita shalat, yuk! Kita doakan
supaya suatu saat nanti akan ada muadzin hebat seperti Bilal, dan Nahla.” Ajak
Fadil kemudian mengambil air wudhu.
Tidak
banyak perubahan signifikan yang terjadi di kampung tersebut, hanya saja setiap
waktunya shalat suara adzan sudah mampu berkumandang di masjidnya. Nahla kecil
lah yang ikut andil dalam hal ini, tape
recorder yang ditinggalkan Fadil untuknya selalu ia putar ketika
waktu shalat tiba. Doanya juga tak pernah putus, doa bahwa suatu saat
nanti tape recorder tersebut
dapat diganti dengan suara-suara emas warga kampung.
Oleh: Ninda Eka
Nur Vytasari (Jurnalistik Sains 2016)
Comments
Post a Comment