Masih Mengingat Hujan
Di luar masih sedikit gerimis,
tak seperti tadi sore yang begitu hebatnya hujan membasahi tiap jalan setapak. Tukang
mi ayam pun tampak sulit melewati depan rumahku. Jalan banjir, penuh air juga
lumut. Di dalam masih terasa dingin, seperti tadi sore yang begitu menusuknya
angin di kulit. Bapak-bapak ronda pun agak berat untuk keluar rumah. Jaket
tebal, itu yang mereka andalkan.
Masih
mengingat hujan. Tiap tetesnya hadirkan cerita tersendiri. Tiap sapanya
goreskan kenangan dalam diri. Begitu banyak kisah yang dituliskan hujan. Begitu
banyak kasih yang aku dapat dari hujan. Layaknya bayi yang menangis karena
teringat susu, begitupun aku yang kadang menangis karena terbayang hujan.
Masih
mengingat hujan, ketika itu aku masih sangat nakal, meski sekarang pun masih
begitu. Jika aku tak salah ingat, saat itu aku masih menginjak bangku Taman
Kanak-Kanak. Sore itu hujan gerimis, tanah lapang dekat rumah tampak menggoda
di mata anak sepertiku. Tak kuhiraukan larangan ibu, aku berlari bersama
teman-teman. Ya, sore itu bermain bola bersama mereka. Kurasa betapa bebasnya
kami saat itu. Beberapa anak kecil yang masih buta akan beratnya dunia, riang
bermain tanpa patah asa. Kurasa betapa teman adalah salah satu hal yang paling
berharga. Tanpa mereka aku hanya akan seperti bola yang teronggok tak
tersentuh.
Masih
mengingat hujan, ketika itu aku di sekolah. Biasanya pulang sekolah menjadi hal
menyenangkan bagiku, namun kali ini tidak. Hujan mengguyur dengan deras seperti
saat aku mengguyur tanaman ibu tiap pagi. Bingung dan pasrah saat itu. Aku hanya
bisa menunggu hingga hujan reda. Tapi sosok itu hadir, ayahku. Beliau dengan
jas hujannya menghampiriku seraya memberikan jas hujan yang sering aku pakai. Ya,
my hero in that time. Tanpa ragu
ayahku menjemput meski hujan tampak tak bersahabat. Salah satu pengorbanan ayah
yang akan selalu kuingat.
Masih
mengingat hujan, saat itu acara Nuzulul Qur’an. Kira-kira usiaku 7 tahun saat
itu. Selepas sholat Tarawih, aku niatkan untuk pulang. Aku tak berniat ikut
Nuzulul Qur’an, aku yang bandel saat itu. Mungkin Allah memberiku kesempatan
untuk berkumpul bersama yang lain. Baru saja aku hampir melangkahkan kaki dari
masjid, hujan deras langsung tiba. Secepat kilat aku lari ke dalam lagi untuk
berteduh. Ya, tak lama acara pun dimulai, aku dengan terpaksa mengikutinya. Namun
saat itu aku merasakan hal yang berbeda. Suatu kebersamaan dengan warga, ceria,
serta keramahan yang aku jarang sadari. Aku bersyukur Allah menurunkan hujan
saat itu. Waktu berlalu hingga acara selesai, dan hujan pun reda.
Masih
mengingat hujan, saat itu aku di perjalanan ke sekolah. Gerimis membayangi
hingga peristiwa itu terjadi. Mungkin karena kesalahanku sendiri, aku terjatuh
dari kendaraanku. Kecelakaan terparah yang pernah aku alami. Luka di kaki serta
tangan menurutku hanya luka sepele, namun tidak untuk ibu. Tak dapat ditutupi,
wajah beliau sangat menunjukkan gelisahnya. Meski kata-kata “tidak apa-apa kok”
aku ucapkan berkali-kali, beliau tetap tidak tenang. Aku rasakan kasih sayang yang
tak terkira ketika beliau membersihkan lukaku untuk yang kesekian kali. Aku rasakan
pula saat beliau mengoleskan obat, membalut lukaku, serta menyajikan segelas
susu hangat di balutan dinginnya sore. Ya, kasih sayang yang membalutku di
setiap detik hidupku, di setiap langkah kecilku, dan di setiap melodi hariku. Hujan
yang menyadarkanku bahwa ibu dapat menyembuhkan dengan cinta.
Kini
aku masih mengingat hujan. Hujan yang bawaku ceria, hujan yang hadirkan duka,
juga hujan yang tuliskan cerita. Di sini aku masih ditemani gerimis, entah jika
nanti hujan deras datang menggantikannya. Aku coba untuk terus bahagia saat
hujan turun karena itu adalah cara Sang Pencipta hadirkan kehidupan di bumi. Tapi
terkadang aku masih sering mengeluh karenanya. Ya, hanya terkadang. Mengingat hujan
munculkan banyak kenangan dalam hidup. Seperti cerita indah yang munculkan
hujan dari mataku.
-fbi_1412-
Ciyee, melow nih yee :D
ReplyDeleteNggak juga kok :D
ReplyDelete