Warna Empat Negeri Pemberontak
Lagi, tetapi sekarang dengan lantunan yang agak berbeda serta
dengan termin yang lebih banter dari sebelumnya. Suara iqomat-lah yang membangunkan Abrar kali ini. Gubuk Abrar memang
tidak jauh dari langgar –tempat di mana warga kampung biasa menyembah Sang
Pemilik Jagad Raya-. Setelah iqomat selesai,
tidak ada suatu gerakan pun yang dilakukan oleh Abrar –terkecuali gerakan
perutnya yang mengembung lalu mengempis, begitu pun seterusnya-. Seorang
berwajah keriput pun membangunkan Abrar, memecahkan segala lamunan mengenai
peristiwa yang barusan terjadi.
Serasa meninggalkan sesuatu yang
Abrar semayami selama ini, jiwanya lucut entah kemana. Berat otak Abrar dengan
pertanda ini. Dua rakaat Abrar tertinggal, hasil dari semua itu, seseorang
menepuk pundak kanannya sehingga Abrar harus melantangkan suaranya lebih keras
lagi. Ditengokkanlah kepalanya ke arah kiri sambil mengucap pelafalan dalam
bahasa Arab, pertanda apa yang menjadi kewajibannya telah dilaksanakan. Sembari
meminta ampunan pada yang di atas, Abrar menggunakan pandangan ikan, berniat
untuk membersihkan rasa kuriositasnya. Luntur, lega telah tahu bahwa apa yang
ia pikirkan tadi salah, bukan lagi kali ini, bukan siapa yang berperan dalam
mimpinya tadi, muncul.
Perjuangan Abrar berlanjut,
kembalilah ia ke tempat teduh tempatnya mengistirahatkan tubuhnya saat lelah
serta memekikkan tubuhnya saat kehidupan sudah sulit dirasakan olehnya. Kehidupan penuh kecurigaan ditampakkan Abrar
setelah kejadian mengerikan yang telah merenggut keceriaannya itu. Senyuman
yang biasanya terpancar dari raut wajah timur itu kini berganti dengan seringai
kecil penuh keanehan.
“Mereka datang…” ucap salah satu
warga kepada hampir seluruh penduduk kampung itu. Kepanikan melanda, mental. Bang bang bang, senapan berbunyi dengan
lantangnya. Semua warga berlari, memang takut atau pun sengaja membuat dirinya
terlihat takut. Semua, terkecuali Abrar, ia merasa sepi di tengah keramaian
peluru yang hilir mudik di depan matanya, dari ufuk timur menuju tanpa batasnya
barat. Panca indranya serasa tak berfungsi melihat siapa yang ada di hadapannya
saat itu. Abrar bisa melihatnya, tidak begitu pula dengan siapa yang dilihatnya
dengan mata kepala Abrar sendiri. Crak,
sesuatu yang aneh dirasakan Abrar. Perasaan kematian merasukinya dari sebelah
kanan. Ditengoknya dari mana rasa perih itu berasal.
“Arrrggghhh…” teriak Abrar seusai menyadari tangan kanannya telah
tiada. Bruk, tubuhnya lemas terjatuh
dalam ketidak sangkaan.
“Hei kau! Kenapa kau tadi diam
saja?” tanya seorang diantara mereka yang membawa senapan serta pisau dikantong
mereka, “Cari mati kau? Sudah bosan
hidup?”
Abrar tergeletak tanpa bisa
membrontak sedikit pun. Lemah. Ia pun pasrah apa yang bakal terjadi setelah
peristiwa ini. Dibawanya pun oleh para ‘penghasut’ ke markas mereka. Markas
megah yang tak terawat karena perang yang tak kunjung reda. Bangun juga Abrar setelah tertidur beberapa
hari, secercah cahaya yang dapat ditangkap matanya menyinari sesosok tubuh di
sana. Tangan kiri Abrar berusaha untuk menjernihkan penglihatannya, sedikit
demi sedikit, hingga sampailah pada titik di mana tubuh itu tampak jelas walau
dengan pencahayaan yang sangat kurang.
“Kakak…” seru Abrar sembari
berusaha membangunkan kepala seorang itu karena sedari tadi ia tertunduk.
Sampai juga Abrar di hadapan orang yang ia panggil dengan sebutan seseorang
yang telah lama dia tunggu tadi. Ditengadahkan kepala orang itu. Krak, hati Abrar bak tertusuk tombak
berapi. Mata Abrar menghitam, kebencian menyelimuti jiwanya. Butiran suci yang
menetes dari kelopak matanya menggambarkan kegundahan yang sangat mendalam.
“Mati kalian…!” berontak Abrar
menyadari bahwa yang ada di depannya adalah jenazah dari kakaknya. Tawa
menyeruak datang dari belakang punggung Abrar. Seorang pria setengah baya
berjenggot tebal serta berkumis datang membawa senapan yang memiliki kaliber
peluru: tujuh koma enam puluh dua kali tiga puluh sembilan mili meter.
“Bagaimana? Ha!? Puas?” gertak
pria berotot dari sisi kanan.
“Dasar jelata tak berguna. Hidup
saja tak mampu, yakin kau diterima di sisi Tuhan-mu?” ucap pria yang membawa
senjata.
“Mengapa?” tanya Abrar perlahan.
“Apa maksudmu, bocah?” tanya
salah satu dari komplotan tersebut.
“Mengapa kalian melakukan ini
pada kami…?” tanya Abrar sekali lagi dengan sedikit membentak, “Apa salah kami
hingga semua ini terjadi…?”
“Salah kalian? Jadi, kau mau tau
apa salah kalian? Salah kalian adalah membiarkan apa yang benar selamanya
benar, lalu menjadikan kebenaran itu sesuatu yang memanjakan bagi kalian.
“Sudah,
semua berakhir di sini,” ucap si pembawa senapan sambil menarik pelatuk
senapannya. Lalu, bang bang, suara tembakan sebanyak dua kali membuat
hening seluruh ruangan.
Oleh: Rayhan Rizqi Bebryan (Jurnalistik Sains 2017)
Comments
Post a Comment