Selimut Debu
Buku setebal lebih dari 461 halaman itu sudah tuntas aku baca. Ikut
menyusuri selimut debu di Afghanistan, bermain-main dengan hembusan
angin di siang hari. Angin bersama debu.
Aku membayangkan
bagaimana jadinya jika aku berada di kota yang diselimuti debu seperti
dalam buku tersebut? Bagaimana cara baju putihmu menghindar dari
gerombolan anak debu yang saling kejar-kejaran? Baju putih hanya sebuah
nama saja. Ia tetap akan menjadi kumal dan berlapis debu.
***
(Gambar: Eks. Perpus Pusat UGM, 14 Februari 2014) |
(Gambar: Fak. MIPA UGM Sekip Selatan, 14 Februari 2014) |
(Gambar : Jogja dari udara, 14 Februari 2014) |
Tapi,
rupanya kota berselimut debu tidak seperti yang aku bayangkan. Apa
karena debu yang sedang menyelimuti seluruh Jogja adalah Debu Vulkanik?
Ah, ini lebih tepat dikatakan abu vulkanik. Warnanya bukan putih, tapi
juga bukan coklat, lebih mirip warna abu-abu.
Perumahan warga
seperti diselimuti salju, tapi sayangnya saljunya berwarna abu-abu dan
tidak dingin. Abu ini menjadikan kota ini seperti kota Nagasaki dan
Hiroshima setelah diledakkan bom disana. Kota mati. Semua aktivitas
menjadi terganggu, pertokoan tetap buka tetapi yang tampak hanya pintu
toko yang terbuka sedikit.
Semua orang bersembunyi dibalik masker dan kaca mata.
(c) Nian Undayani Sarsa
Blimbing Sari | Minggu 16 Februari 2014
***
Sumber gambar: Dari berbagai sumber
Comments
Post a Comment